Halimah

Thursday, March 24, 2016

Perubahan Pola Penyakit Stroke dan Angka Kematian di Indonesia



Penyakit kardiovaskular terkait jantung dan pembuluh darah, terutama stroke dan jantung koroner, tidak hanya milik warga kota besar. Prevalensi penyakit mematikan tertinggi di Indonesia itu, serta penyakit tidak menular lain, seperti diabetes melitus, hipertensi, dan kanker, merata hingga kota kecil di banyak daerah.
Warga mengikuti Yoga di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (17/5). Yoga massal sebagai bagian dari kampanye kesehatan 2015 yang dilaksanakan serentak di tiga kota seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar itu berhasil memecahkan rekor MURI untuk kegiatan yoga dengan jumlah peserta terbanyak di Indonesia.
Data Kementerian Kesehatan 2013 yang diolah Divisi Litbang Kompas menunjukkan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, memiliki sebaran (prevalensi) kasus stroke tertinggi di Indonesia dengan persentase 66,6 persen. Adapun prevalensi tertinggi jantung koroner ada di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, dengan persentase 15,5 persen, sedangkan Manggarai Timur prevalensi tertinggi diabetes, 19,2 persen.
Prevalensi hipertensi tertinggi ada di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dengan persentase 43,6 persen dan paru-paru tertinggi ada di Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara, dengan persentase 35,8 persen, sedangkan prevalensi kanker tertinggi di Sleman, DI Yogyakarta, dengan 6,1 kasus per 1.000 penduduk.
Sementara itu, analisis awal Sample Registration Survey (SRS) 2014—survei kematian skala nasional terhadap 41.590 kematian sepanjang 2014—yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menunjukkan, stroke dan jantung penyebab kematian pertama dan kedua di Indonesia sepanjang 2014. Persentasenya, masing-masing 21,1 persen dan 12,9 persen.
Kepala Balitbangkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan, Indonesia menghadapi beban ganda penyakit, kondisi ketika penyakit menular belum terkendali penuh dan penyakit tidak menular terkait gaya hidup cenderung meningkat pesat dan jadi pembunuh nomor satu. ”Transisi epidemiologi sedang terjadi,” ujar Tjandra, Sabtu (16/5), di Jakarta.
Tahun 1990-an, kata Tjandra, stroke menempati posisi keempat penyebab kematian. Tahun 2014, peringkat pertama. Adapun penyakit jantung dan pembuluh darah yang pada tahun 1990-an di luar 10 besar penyebab kematian, tahun 2000-an jadi pembunuh kelima dan tahun 2014 penyebab kematian kedua.

Faktor penyebab
Perubahan pola penyakit terjadi seiring perubahan status sosial ekonomi, gaya hidup, dan meningkatnya usia harapan hidup. Interaksi berbagai faktor risiko, seperti rendahnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok, asupan gizi tak seimbang, dan konsumsi alkohol kian mempercepat terjadinya penyakit tidak menular.
Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Daryanto Chadorie mengatakan, masyarakat Yogyakarta terbiasa mengonsumsi makanan manis dan minim konsumsi sayur dan buah. Kebiasaan itu berisiko menimbulkan penyakit tidak menular. Di banyak daerah, makanan dan minuman berkadar gula dan garam tinggi kian mudah dijumpai. Gerai-gerai minimarket buka hingga lewat tengah malam.
Menurut dosen sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Victoria Sundari Handoko, ada unsur kapitalisasi bisnis yang turut membuat produk makanan dan minuman yang dulu hanya berpusat di kota besar kini hadir di kota-kota kecil dan mudah diakses warga segala umur.
Menurut Tjandra, risiko penyakit tidak menular di kota besar dan kecil sebenarnya relatif sama. Asupan gizi tidak seimbang, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol merupakan faktor risiko yang sama-sama terjadi, baik di kota besar maupun kecil. ”Aktivitas fisiknya saja yang mungkin agak berbeda antara kota besar dan kecil,” ujarnya.
Dari data SRS 2014, setelah stroke dan penyakit jantung koroner, penyebab kematian tertinggi tahun 2014 berikutnya adalah diabetes melitus dengan komplikasi (6,7 persen), tuberkulosis (5,7 persen), dan hipertensi dengan komplikasi (5,3 persen).
Analisis awal SRS 2014 oleh Balitbangkes tersebut sejalan dengan tren yang terlihat pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Berdasar Riskesdas, prevalensi stroke meningkat dari 8,3 per 1.000 penduduk tahun 2007 menjadi 12,1 per 1.000 penduduk pada tahun 2013.
Tersebar meratanya berbagai penyakit akibat gaya hidup, mulai dari pedesaan hingga perkotaan, menurut antropolog kesehatan Universitas Indonesia, Sri Murni, akibat dari perubahan perilaku masyarakat secara keseluruhan.
Kader Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) di Dusun Kasuran, Desa Margodadi, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, mengukur tekanan darah seorang warga, Sabtu (16/5). Posbindu PTM merupakan program yang digagas Kementerian Kesehatan untuk mengendalikan dan mendeteksi dini sejumlah penyakit tak menular, misalnya penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes melitus, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis.
Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat mengubah kebiasaan mereka, baik dari pola konsumsi, aktivitas fisik, maupun pola permukiman masyarakat yang meng-kota.
Semakin tipisnya batas antara wilayah perkotaan dan pedesaan, tayangan televisi yang selalu menampilkan glamornya kehidupan perkotaan, serta faktor pergaulan turut memengaruhi pola perubahan gaya hidup masyarakat. Semua itu memicu tersebar meratanya dan makin mudanya usia pengidap penyakit akibat gaya hidup.
”Standar modernisasi atau berbagai keunggulan mengacu pada gaya hidup masyarakat perkotaan. Akibatnya, gaya hidup di desa mirip masyarakat di kota,” kata Sri Murni.
Anak-anak muda pedesaan kini jauh beda dengan era dulu. Semakin sedikit anak muda memanggul cangkul, mencangkul, atau ke sawah bersepeda. Gerak lakunya sama dengan anak-anak di kota umumnya, yang menenteng gawai ke mana-mana.

Beban ekonomi
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, tingginya kejadian penyakit tidak menular di Indonesia akhirnya tidak hanya menjadi beban kesehatan, tetapi juga ekonomi negara. Mengutip penelitian Forum Ekonomi Dunia dan Harvard School of Public Health 2015, lima jenis penyakit tidak menular (penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit paru obstruktif kronis, diabetes melitus, dan gangguan kesehatan jiwa) akan menyebabkan kerugian 4,47 triliun dollar Amerika Serikat atau 17.863 dollar Amerika Serikat per kapita dari tahun 2012 sampai 2030.
Kerugian yang ditimbulkan itu tidak hanya terkait pembiayaan pengobatan penyakit yang memang besar, tetapi juga atas hilangnya produktivitas tenaga kerja.

No comments:

Post a Comment