Penyakit
kardiovaskular terkait jantung dan pembuluh darah, terutama stroke dan jantung
koroner, tidak hanya milik warga kota besar. Prevalensi penyakit mematikan
tertinggi di Indonesia itu, serta penyakit tidak menular lain, seperti diabetes
melitus, hipertensi, dan kanker, merata hingga kota kecil di banyak daerah.
Warga
mengikuti Yoga di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (17/5). Yoga massal
sebagai bagian dari kampanye kesehatan 2015 yang dilaksanakan serentak di tiga
kota seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar itu berhasil memecahkan rekor
MURI untuk kegiatan yoga dengan jumlah peserta terbanyak di Indonesia.
Data
Kementerian Kesehatan 2013 yang diolah Divisi Litbang Kompas menunjukkan,
Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, memiliki sebaran (prevalensi) kasus stroke
tertinggi di Indonesia dengan persentase 66,6 persen. Adapun prevalensi
tertinggi jantung koroner ada di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara
Timur, dengan persentase 15,5 persen, sedangkan Manggarai Timur prevalensi
tertinggi diabetes, 19,2 persen.
Prevalensi
hipertensi tertinggi ada di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dengan persentase
43,6 persen dan paru-paru tertinggi ada di Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara,
dengan persentase 35,8 persen, sedangkan prevalensi kanker tertinggi di Sleman,
DI Yogyakarta, dengan 6,1 kasus per 1.000 penduduk.
Sementara
itu, analisis awal Sample Registration Survey (SRS) 2014—survei kematian skala
nasional terhadap 41.590 kematian sepanjang 2014—yang dilakukan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan
menunjukkan, stroke dan jantung penyebab kematian pertama dan kedua di
Indonesia sepanjang 2014. Persentasenya, masing-masing 21,1 persen dan 12,9
persen.
Kepala
Balitbangkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan, Indonesia menghadapi beban ganda
penyakit, kondisi ketika penyakit menular belum terkendali penuh dan penyakit
tidak menular terkait gaya hidup cenderung meningkat pesat dan jadi pembunuh
nomor satu. ”Transisi epidemiologi sedang terjadi,” ujar Tjandra, Sabtu (16/5),
di Jakarta.
Tahun
1990-an, kata Tjandra, stroke menempati posisi keempat penyebab kematian. Tahun
2014, peringkat pertama. Adapun penyakit jantung dan pembuluh darah yang pada
tahun 1990-an di luar 10 besar penyebab kematian, tahun 2000-an jadi pembunuh
kelima dan tahun 2014 penyebab kematian kedua.
Faktor penyebab
Perubahan
pola penyakit terjadi seiring perubahan status sosial ekonomi, gaya hidup, dan
meningkatnya usia harapan hidup. Interaksi berbagai faktor risiko, seperti
rendahnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok, asupan gizi tak seimbang, dan
konsumsi alkohol kian mempercepat terjadinya penyakit tidak menular.
Kepala
Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DI
Yogyakarta Daryanto Chadorie mengatakan, masyarakat Yogyakarta terbiasa
mengonsumsi makanan manis dan minim konsumsi sayur dan buah. Kebiasaan itu
berisiko menimbulkan penyakit tidak menular. Di banyak daerah, makanan dan
minuman berkadar gula dan garam tinggi kian mudah dijumpai. Gerai-gerai
minimarket buka hingga lewat tengah malam.
Menurut
dosen sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Victoria Sundari Handoko, ada
unsur kapitalisasi bisnis yang turut membuat produk makanan dan minuman yang
dulu hanya berpusat di kota besar kini hadir di kota-kota kecil dan mudah
diakses warga segala umur.
Menurut
Tjandra, risiko penyakit tidak menular di kota besar dan kecil sebenarnya
relatif sama. Asupan gizi tidak seimbang, kebiasaan merokok, dan konsumsi
alkohol merupakan faktor risiko yang sama-sama terjadi, baik di kota besar
maupun kecil. ”Aktivitas fisiknya saja yang mungkin agak berbeda antara kota
besar dan kecil,” ujarnya.
Dari
data SRS 2014, setelah stroke dan penyakit jantung koroner, penyebab kematian
tertinggi tahun 2014 berikutnya adalah diabetes melitus dengan komplikasi (6,7
persen), tuberkulosis (5,7 persen), dan hipertensi dengan komplikasi (5,3
persen).
Analisis
awal SRS 2014 oleh Balitbangkes tersebut sejalan dengan tren yang terlihat pada
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Berdasar Riskesdas, prevalensi stroke
meningkat dari 8,3 per 1.000 penduduk tahun 2007 menjadi 12,1 per 1.000
penduduk pada tahun 2013.
Tersebar
meratanya berbagai penyakit akibat gaya hidup, mulai dari pedesaan hingga
perkotaan, menurut antropolog kesehatan Universitas Indonesia, Sri Murni,
akibat dari perubahan perilaku masyarakat secara keseluruhan.
Kader
Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) di Dusun Kasuran,
Desa Margodadi, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, mengukur
tekanan darah seorang warga, Sabtu (16/5). Posbindu PTM merupakan program yang
digagas Kementerian Kesehatan untuk mengendalikan dan mendeteksi dini sejumlah
penyakit tak menular, misalnya penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes
melitus, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis.
Meningkatnya
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat mengubah kebiasaan mereka, baik dari
pola konsumsi, aktivitas fisik, maupun pola permukiman masyarakat yang
meng-kota.
Semakin
tipisnya batas antara wilayah perkotaan dan pedesaan, tayangan televisi yang
selalu menampilkan glamornya kehidupan perkotaan, serta faktor pergaulan turut
memengaruhi pola perubahan gaya hidup masyarakat. Semua itu memicu tersebar
meratanya dan makin mudanya usia pengidap penyakit akibat gaya hidup.
”Standar
modernisasi atau berbagai keunggulan mengacu pada gaya hidup masyarakat perkotaan.
Akibatnya, gaya hidup di desa mirip masyarakat di kota,” kata Sri Murni.
Anak-anak
muda pedesaan kini jauh beda dengan era dulu. Semakin sedikit anak muda
memanggul cangkul, mencangkul, atau ke sawah bersepeda. Gerak lakunya sama
dengan anak-anak di kota umumnya, yang menenteng gawai ke mana-mana.
Beban ekonomi
Menteri
Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, tingginya kejadian penyakit tidak
menular di Indonesia akhirnya tidak hanya menjadi beban kesehatan, tetapi juga
ekonomi negara. Mengutip penelitian Forum Ekonomi Dunia dan Harvard School of
Public Health 2015, lima jenis penyakit tidak menular (penyakit kardiovaskular,
kanker, penyakit paru obstruktif kronis, diabetes melitus, dan gangguan
kesehatan jiwa) akan menyebabkan kerugian 4,47 triliun dollar Amerika Serikat
atau 17.863 dollar Amerika Serikat per kapita dari tahun 2012 sampai 2030.
Kerugian
yang ditimbulkan itu tidak hanya terkait pembiayaan pengobatan penyakit yang
memang besar, tetapi juga atas hilangnya produktivitas tenaga kerja.
No comments:
Post a Comment